Tampilkan postingan dengan label Public Article. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Public Article. Tampilkan semua postingan

Refleksi Perintah Menunaikan Shalat

Posted by Hidayatullah School Sabtu, 12 Oktober 2013 1 komentar
Perkembangan umat Islam dunia dewasa ini menunjukkan grafik yang cukup menggembirakan bila ditinjau dari segi kuantitas. Dengan jumlah sekitar 1,7 miliar jiwa atau setara 23 persen dari penduduk bumi, mengindakasikan pertumbuhan jumlah umat Islam yang terus meningkat. Sayangnya, jumlah sebanyak itu belum mampu ‘mewarnai’ dunia ini dengan peradaban Islam. Lalu, apa penyebabnya?
Indikatornya adalah pemahaman mayoritas umat Islam yang menganggap ajaran Islam sebatas ritualitas. Penerapan nilai-nilai Islam pun tidak dapat terselenggara secara menyeluruh di setiap sendi-sendi kehidupan. Banyak orang yang shalat sekedarnya saja, bersedekah karena mengharap pamrih, berpuasa karena merasa canggung dengan tetangga, serta ikut-ikutan merayakan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) tanpa memahami sedikitpun kandungan hikmah dari peristiwa yang diperingati tersebut.
Ambillah contoh peristiwa bersejarah, Isra Mi’raj yang baru diperingati beberapa waktu lalu. Peristiwa itu begitu istimewa sehingga umat Islam, khususnya di Indonesia dengan semarak selalu memperingati Isra Mi’raj setiap tahun. Ironisnya, mereka yang menjadi peserta maupun panitia acara peringatan tersebut, banyak yang tidak mengaplikasikan salah satu nilai penting yang terkandung dalam peristiwa Isra Mi’raj itu, yakni perintah shalat.
Menunaikan shalat tidak membutuhkan waktu lama, paling banter rata-rata orang Indonesia shalat antara 10 – 15 menit saja. Kendati demikian, masih banyak umat Islam yang enggan melaksanakan shalat, ibadah yang diperintahkan langsung oleh Allah kepada Rasulullah tanpa melalui perantara. Bagaimana dapat membangun peradaban umat yang berakhlak mulia? Jika masing individu enggan menghambakan diri kepada Allah SWT dengan menjalankan perintah-Nya berupa shalat wajib lima waktu. Hanya lima waktu!
Banyak umat Islam yang masih sibuk dengan pekerjaannya meski seruan azan telah berulangkali memanggilnya untuk shalat. Tak jarang orang-orang yang betah menonton film berjam-jam lamanya, sementara shalat 10 menit mereka abaikan. Betapa tak terhitungnya orang-orang yang mengaku Islam lalu-lalang di depan masjid meski waktu shalat telah tiba. Dan masih banyak aktivitas lainnya yang telah menyita waktu shalat demi sekedar mengingat Allah.
Inilah sebuah contoh distorsi nilai-nilai ajaran Islam, yang telah menjadikan agama Islam sebatas label identitas saja, bukan akhlak kepribadian dalam diri. Tidak pantas sekiranya ‘mengkambing-hitamkan’ pihak-pihak di luar Islam, jika umat Islam sendiri enggan mematuhi ajaran dan rambu-rambu dalam ber-Islam. Janganlah menyalahkan hegemoni barat atau modernisasi zaman, jika umat Islam tidak pernah beruapaya membangun benteng bagi dirinya sendiri yang berupa ibadah shalat.

Keutamaan Shalat
Perintah shalat disampaikan Allah langsung kepada Rasulullah pada saat peristiwa Isra Mi’raj. Berbeda dengan perintah Allah lainnya yang cukup melalui wahyu dengan perantara malaikat Jibril. Rasulullah tidak sekedar itikaf di gua Hira’ sebagaimana beliau menerima wahyu pertama berupa Alquran. Rasulullah harus menjalani rangkaian Isra Mi’raj demi menjemput perintah shalat dari Allah.
Shalat memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam kehidupan umat manusia. Selain berfungsi sebagai media komunikasi antara manusia dengan Allah, shalat juga berperan dalam membentuk kepribadian umat manusia. Selanjutnya, shalat akan menciptakan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena, perintah shalat telah disertai dengan anjuran berjamaah sebagai simbol kehidupan sosial.
Perintah shalat dalam lima waktu sehari, mendorong umat Islam agar selalu mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Sedangkan, tertib shalat merupakan wujud dari terlaksananya petunjuk atau hukum Allah sehingga dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Allah berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabuut: 45).
Rasulullah telah menegaskan bahwa shalat merupakan tolok ukur bagi amalan ibadah lainnya. Sebagaimana yang diriwayatkan ath-Thabrani bahwa Rasulullah bersabda, “Jika baik shalat seseorang maka akan baik pula semua amalan lainnya, tapi jika jelek shalat seseorang maka jeleklah semua ibadah orang tersebut.” Pertanyaannya, bagaimana dengan mereka yang mengaku Islam namun tidak melaksanakan shalat?
Berdasarkan uraian Hadits tersebut, tampak korelasi antara shalat dan pembentukan kepribadian menyatu dalam diri setiap Muslim. Apabila perilaku seorang Muslim sudah menderivasikan nilai-nilai shalat, pantas dirinya sebagai Mukmin yang berhak menghadap Allah. Karena shalat merupakan mi’raj-nya orang-orang Mukmin. Artinya, shalat adalah sarana untuk manusia sebagaimana Rasulullah dapat mi’raj sehari lima kali menghadap Allah SWT.

Perintah Shalat dalam Isra’ Mi’raj
Sudah banyak pembahasan yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa Isra Mi’raj. Perjalanan super cepat yang dilakukan Rasulullah dari Mekah ke Palestina, kemudian naik ke Sidratul Muntaha (di langit ke-7) hanya dalam waktu semalam. “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (QS. Al-Israa’: 1).
Namun, belum banyak yang sudi menjelaskan korelasi perintah shalat dengan peristiwa Isra Mi’raj itu sendiri. Mengapa perintah shalat terjadi pada peristiwa Isr’a Mi’raj? Seberapa hebatnya shalat sehingga Rasulullah secara langsung menghadap Allah untuk menerima perintah shalat? Bukankah Allah telah memiliki malaikat-malaikat yang patuh dan dapat dipercaya jika hanya menyampaikan perintah shalat? Inilah yang sekiranya menjadi renungan umat Islam agar menghargai dan mengindahkan shalatnya.
Shalat adalah sebuah mu’jizat. Peristiwa Isra Mi’raj terjadi hanya semalam dengan perjalan yang begitu jauh, dari Mekah ke Palestina kemudian menuju langit tingkat tujuh. Hingga detik ini belum ada kendaraan apapun yang mampu melakukan perjalanan sejauh tersebut, apalagi hanya dalam waktu satu malam. Untuk mencapai bintang terdekat dari bumi dengan kendaraan super cepat saja, diperkirakan membutuhkan kecepatan 20 ribu km perjam atau kurang lebih 428 tahun lamanya. Mungkinkah manusia hidup di dunia selama itu?
 Shalat memuliakan masjid. Perjalanan Rasulullah dari masjid Al haram ke masjid Al Aqsha telah mengikat pemahaman bahwa masjid adalah tempat bersujud. Masjid merupakan Baitullah, maka wajib umat manusia memakmurkan masjid. “Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At Taubah:18).
Shalat merupakan tiang agama. Perjalan Isra Mi’raj identik dengan penerimaan ibadah shalat, langsung dari Allah. Tiada ibadah yang diserahkan langsung oleh Allah kepada Rasul-Nya, kecuali ibadah shalat. Para ulama tafsir bersepakat bahwa shalat menjadi barometer ibadah-ibadah yang lain. Sudah barang tentu jika ibadah dapat dilaksanakan dengan baik, hal ini menunjukkan jika nilai-nilai agama telah terlaksana.
Nilai-nilai agama tersebut tidak hanya terhenti pada aspek ritual atau seremonial saja. Agama harus memiliki peranan dalam menguatkan kembali ikatan sosial dan kontrol sosial masyarakat. Agama mestinya membangun transformasi masyarakat dalam kerangka komunitas sekaligus individu sehingga persoalan paradigmatik dan teknis masyarakat dapat diselesaikan. Sekali lagi, itu semua akan terwujud jika tiang agama yang berupa ibadah shalat dapat ‘berdiri kokoh’ dalam diri setiap umat.
Dan masih banyak lagi kandungan nilai-nilai shalat. Sudah saatnya umat Islam tampil menjadi pionir dalam menghentikan konflik, kriminalitas, kesenjangan sosial, korupsi, pornografi dan pornoaksi, serta kemiskinan ekonomi yang menjadi penyebab maraknya ketidak-adilan di muka bumi. Kehidupan berjamaah sebagaimana dalam shalat harus tertata rapi dan tertib mematuhi aturan Allah, karena orang-orang yang shalat dengan benar akan merasa selalu diperhatikan oleh Allah SWT. Hal inilah yang mendorong umat manusia enggan berbuat curang apalagi keji. Jika demikian, niscaya umat manusia akan hidup dalam peradaban yang mulia.
Pada akhirnya apa yang umat manusia telah lakukan di muka bumi ini pasti mendapat balasan di akhirat kelak. Segala amal perbuatan baik yang ma’ruf maupun yang mungkar akan dihisab sesuai porsinya. Dan shalat adalah ibadah yang paling pertama dihisab ketika di yaumul kiamah. Rasulullah bersabda, “Awwalu maa yuhasabu bihil ‘abdu yaumal qiyaamati ashshalaatu.”  Artinya; Yang pertama kali kelak dihisab pada hari Kiamat adalah ibadah shalat. Wallahu a’lam bish Shawab! By: Zainal Arifin

Baca Selengkapnya ....

Gerakan Memakmurkan Masjid

Posted by Hidayatullah School 1 komentar
Perkembangan peradaban Islam tidak terlepas dari eksistensi keberadaan dan peranan masjid. Sejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam mendakwahkan Islam, masjid sudah memainkan perannya dalam rangka penyusunan strategi dakwah dan penyebaran nilai-nilai Islam ke seluruh penjuru dunia. Bangunan masjid beserta pirantinya kala itu, menjadi landasan pacu dan pusat pengendalian dakwah, pengembangan ekonomi umat, serta wadah transformasi pendidikan. Hal ini tentu berbeda dengan paradigma masyarakat pada umumnya saat ini yang menganggap masjid sebagai tempat shalat semata.
Masjid merupakan institusi pertama dan utama yang dibangun langsung oleh Rasulullah. Saat hijrah ke kota Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam membangun masjid pertama dalam agama Islam yang diberi nama Masjid Quba’. Selanjutnya, beliau juga membangun masjid lain di tengah kota Madinah, yakni Masjid Nabawi, yang kemudian menjadi pusat aktivitas Rasulullah dalam mengendalikan seluruh masalah umat Islam pada waktu itu. Dengan kata lain, peranan masjid tidak sebatas sebagai tempat sujud, meskipun kata masjid sebenarnya berasal dari kata sajada yang artinya tempat sujud.
Bahkan, menurut Quraish Shihab, tidak kurang dari sepuluh peran Masjid Nabawi pada masa Rasulullah dulu, yaitu: tempat ibadah (shalat dan dzikir), tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi, sosial dan budaya), tempat pendidikan, tempat santunan sosial, tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya, tempat pengobatan para korban perang, tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, aula dan tempat menerima tamu, tempat menawan tahanan, serta pusat penerangan atau pembelaan agama.
Demikian strategis keberadaan masjid sejak awal-awal perjuangan dakwah Islam hingga kejayaan peradaban Islam. Keberadaan masjid sebagai basecamp umat Islam merupakan benteng pertahanan dari serangan musuh. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setan itu adalah serigala terhadap manusia. Sama halnya dengan serigala menerkam kambing, yang diterkamnya ialah kambing-kambing yang menjauh dan terpisah-pisah. Oleh sebab itu sekali-kali janganlah kamu menempuh jalan sendiri dan hendaklah kamu berjamaah dan berkumpul dengan orang banyak di masjid. (Riwayat Ahmad).
Selain itu, pentingnya berjamaah dan berkumpul di masjid mampu mendatangkan banyak kebaikan baik secara individu maupun kehidupan sosial umat. Dalam sebuah hadits, dijelaskan bahwa Rasulullah bersabda, ” …dan tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid), untuk membaca Kitabullah (al-Qur’an) dan mempelajarinya di antara mereka melainkan akan turun ketentraman kepada mereka, rahmat akan menyelimuti mereka, para malaikat menaungi mereka dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat di sisi-Nya… ” (Riwayat Muslim).
Dan, Islam telah memotivasi umat Muslim agar senantiasa memakmurkan masjid di manapun ia berada. Memakmurkan masjid tidak hanya sebatas sering mengunjungi dan shalat di masjid saja. Membangun dan merawat masjid, mengadakan taklim-taklim di masjid, menghimpun zakat di masjid, menyelenggarakan pendidikan di masjid, serta kegiatan lainnya baik formal maupun informal yang berkaitan dengan pelayanan kepentingan umat merupakan bentuk nyata dari upaya memakmurkan masjid.

Keutamaan Memakmurkan Masjid
Saat ini, khususnya di Indonesia, umat Islam patut bersyukur karena telah begitu banyak bangunan masjid yang tersebar hampir di seluruh pelosok negeri. Sayangnya, banyaknya bangunan masjid dan gelar sebagai negara Islam terbesar di dunia, belum mampu membawa bangsa ini pada kehidupan umat yang berperadaban mulia. Kriminalitas, pelecehan wanita, penindasan, kecurangan, korupsi dan seabrek dekadensi moralitas tampak kasat mata di negeri ini. Mungkin saja ini dikarenakan mayoritas masjid-masjid di Indonesia masih belum makmur.
Sudah jelas seruan Allah melalui Rasulullah untuk memakmurkan masjid, karena dengan sendirinya masjid yang makmur akan memberi dampak positif bagi penduduk di sekitarnya.  Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya: “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah[9]: 18).
Rasulullah pun memberi perhatian khusus kepada umat Muslim yang sudi memakmurkan masjid. Dimana orang-orang yang senantiasa pergi ke masjid dan melakukan amalan shaleh di dalamnya akan senatiasa terjaga hidupnya dari kehancuran. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “Tidakkah kamu mau aku tunjukkan apa yang dengannya Allah menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat? Menyempurnakan wudhu dalam keadaan yang berat, memperbanyak langkah ke masjid dan menanti shalat setelah shalat. Itulah penjagaan sesungguhnya, itulah penjagaan sesungguhnya.” (Riwayat Muslim).
Satu hal lagi yang perlu diketahui bahwa masjid adalah tempat yang sangat dimuliakan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Barang siapa yang selalu mencintai dan memuliakan masjid, sudah barang tentu kehidupannya pun akan mulia dan bermartabat. Karena Allah juga sangat mencintai masjid-masjid-Nya, wajar apabila umat Muslim yang telah menautkan hati dan raganya dengan masjid akan merasakan agungnya cinta Allah tersebut. Hadits Rasulullah telah menjelaskan bahwa tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid dan tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar. (Riwayat Muslim).

Kesimpulan
Berdasarkan uraian singkat tersebut, kita seharusnya menghibahkan diri untuk mengurus dan memakmurkan masjid, khususnya yang ada disekitar kita. Sebagai langkah awalnya, kegiatan-kegiatan yang bernuansa Tarbiyah Islamiyah seminimal mungkin harus ditumbuh-kembangkan di setiap masjid yang sudah berdiri megah di atas bumi Allah ini. Harapannya, dari masjid-masjid itulah akan lahir kader-kader ‘emas’ yang mampu memberi solusi atas berbagai problematika umat Islam di era modern ini.
Pada akhirnya, baik kita maupun generasi mendatang harus mampu menjadi hamba-hamba Allah yang mengikat hatinya dengan masjid. Sungguh beruntung umat Muslim yang senantiasa terpaut hatinya dengan masjid-masjid Allah. Terkait hal ini, Rasulullah juga telah menegaskan dalam haditsnya bahwa ada tujuh golongan manusia yang akan Allah naungi mereka pada hari tiada naungan, salah satunya yaitu seseorang yang terikat (hatinya) dengan masjid ketika ia keluar hingga ia kembali ke masjid. (Riwayat Bukhari dan Muslim). By: Zainal Arifin

Baca Selengkapnya ....

Hakikat Ibadah Kurban

Posted by Hidayatullah School Jumat, 11 Oktober 2013 1 komentar
Musim Haji telah tiba, tanah suci pun menjadi tujuan sebagian besar umat Islam yang memiliki kelapangan rezeki. Ritual tahunan yang merupakan rukun Islam terakhir ini belakangan mengalami peningkatan secara signifikan bila ditinjau dari segi kuantitas. Umat Islam di Indonesia sebagai salah satu contohnya, banyak calon jemaah haji di Indonesia yang harus mengantri beberapa tahun untuk bisa menunaikan ibadah haji karena quota haji yang terbatas. Meski dari segi finansial mereka telah memenuhi syarat berhaji, calon haji dari Indonesia dituntut sabar menunggu giliran yang lamanya memakan waktu tahunan.
Berbicara haji tentu tidak terlepas dari pelaksanaan ibadah kurban, karena ibadah haji dan ibadah kurban saling berhubungan dan saling menyempurnakan baik dalam hal spirit maupun spiritualitas. Dalam hal spirit, haji dan kurban bersinergi pada pengorbanan yang besar untuk dapat melaksanakan kedua ibadah tersebut. Sedangkan dalam dimensi spiritualitas, ibadah haji dan ibadah kurban sama-sama mampu mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Konsep berkurban juga begitu relevan dengan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Ajaran berkurban mengingatkan kepada kita semua, bahwa cita-cita mulia membangun bangsa ini tidak terlepas dari pengorbanan. Pengorbanan merupakan kunci keberhasilan terhadap semua usaha, baik pada tingkatan pribadi maupun kelompok, terlebih-lebih dalam urusan menjaga eksistensi kesatuan Negara Republik Indonesia.
Para pahlawan bangsa ini telah memberikan contoh terbaik dalam hal pengorbanan. Mereka telah mengorbankan apa saja yang dimilikinya termasuk jiwa dan raganya demi meraih kemerdekaan bangsa Indonesia. Ironisnya kini, semangat rela berkorban belum banyak tercermin dalam diri generasi bangsa saat ini. Indikasinya, masih ada pemimpin bangsa ini yang katanya merupakan generasi terbaik namun secara nyata enggan berkorban. Sebaliknya, yang terdengar adalah mereka berlomba-lomba memanfaatkan kedudukannya untuk merampok hak-hak rakyatnya.
Lebih memprihatinkan lagi, bahwa semangat menjadi pemimpin di negeri ini baik secara terang-terangan atau tersembunyi, telah memunculkan istilah politik transaksional. Mereka rela berkorban asalkan ada imbalannya yang nominalnya harus jauh lebih besar dari apa yang telah dikeluarkan. Inilah yang harus bersama kita benahi sebagaimana berlandaskan pada semangat berkurban yang telah dicontohkan Ibrahim as, Bapaknya para nabi.
Dengan memahami makna kurban, yang dalam bahasa Arab berasal dari kata qoruba yang artinya dekat, dalam hal ini dimaksudkan kedekatan itu baik secara vertical maupun horizontal. Secara vertikal, makna kedekatan dalam kurban memerintahkan umat Islam untuk meningkatkan intensitas dan kualitas komunikasinya dengan Allah Swt. Sebaliknya dari sisi horizontal, sejarah ritual kurban mengajarkan bentuk pengorbanan manusia untuk menjalin silaturrahim dan menguatkan ukhuwah antara sesama umat manusia.
Kisah nabi Ibrahim as secara turun-temurun menjadi teladan umat Islam di seluruh penjuru dunia dalam kaitannya menunaikan ibadah kurban. Sejarah yang juga diceritakan Allah di dalam Al-Qur’an merupakan referensi sepanjang zaman akan makna kurban yang sesungguhnya. Dijelaskan bagaimana nabi Ibrahim as mendapat ujian yang berat karena kecintaannya kepada salah satu putranya, Ismail. Dalam mimpinya, nabi Ibrahim as mendapat wahyu dari Allah berupa perintah untuk menyembelih putra yang paling dicintainya itu. Dan karena kuatnya tingkat keimanan, nabi Ibrahim as dan putranya (Ismail) rela dan ikhlas melaksanakan perintah Allah Swt tersebut.

Keutamaan Ibadah Kurban
Perintah berkurban tidak terhenti pada nabi Ibrahim saja, Allah juga memerintahkan setiap umat Islam yang mampu dan berlapang rezeki untuk menyembelih hewan kurban. Hal ini dikarenakan keutamaan dari ibadah kurban itu sendiri, baik bagi shohibul kurban maupun orang lain yang menerima daging kurban. Allah telah berfirman, yang artinya: Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian dari padanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al Hajj: 28).
Berkurban merupakan perintah Allah Swt, sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS. Al-Hajj: 36).
Berkurban termasuk ibadah yang paling utama. Allah berfirman: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al-An’am: 162-163). Firman-Nya pada ayat yang lain berbunyi: “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan kurban.” (QS. Al-Kautsar:2).
Dua ayat tersebut menggandengkan ibadah kurban dengan ibadah shalat demi menunjukkan sikap tawadhu’, merasa butuh kepada Allah, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati karena berdekatan dengan Allah. Ibadah shalat dan menyembelih kurban adalah ibadah paling utama yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Ibnu Taimiyyah mengatakan : “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah menyembelih kurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah shalat.
Selain itu, ketika nilai-nilai ibadah kurban dapat diderivasikan dalam kehidupan sehari-hari maka kerukunan antara umat manusia sangat mungkin terjalin kokoh. Kepedulian antara sesama dan rasa saling berbagi menjadi pilar penting dalam membangun masyarakat berperadaban mulia. Ukhuwah Islamiyah yang solid sangat mungkin melahirkan kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual, kecerdasan yang sangat diharapkan muncul sebagai kesadaran massal di tengah kondisi umat Islam yang tercerai-berai seperti sekarang ini. Mungkinkah kerusuhan dan tawuran yang marak terjadi di beberapa negara berpenduduk muslim termasuk Indonesia akan berakhir? Jawabannya ada pada spirit berkurban!

Kurban Butuh Pengorbanan
Kembali pada kisah nabi Ibrahim as dan putranya, teramat berat perintah kurban yang harus dilaksanakan kedua hamba Allah tersebut. Nabi Ibrahim as sebagai seorang ayah harus rela dan ikhlas menyembelih putra kesayangannya, Ismail. Dalam koridor berpikir normal, siapa yang tega menyembelih anak kesayangannya? Apalagi menyembelih dengan tangannya sendiri. Sementara bagi Ismail sebagai seorang anak manusia, logika sederhananya siapa yang mau disembelih hidup-hidup. Itulah ujian keimanan yang mesti dijalani setiap hamba jika ingin menjaga kedekatan jiwanya dengan pemilik jiwa itu sendiri. Dan jika hamba itu lurus keimanannya, ia akan yakin jika Allah Swt tidak akan menguji melebihi batas kemampuan hambanya.
Pengorbanan nabi Ibrahim sangat besar ketika melaksanakan perintah dari Allah untuk berkurban. Selain akan kehilangan putra kesayangannya, ia harus melihat putranya menderita ketika disembelih. Begitupun Ismail yang masih belia, ia harus rela berpisah dengan ayahnya dan meninggalkan dunia ini dengan cara disembelih ayahnya sendiri. Momentum inilah yang diharapkan lahir dalam diri setiap hamba ketika menunaikan ibadah kurban. Pengorbanan harta atau ternak kesayangan harus dilakukan demi meraih keberkahan Allah. Bukan sebaliknya, berkurban karena popularitas ataupun sekedar menutupi harta hasil korupsi.
Melalui nabi Muhammad Saw, perintah menyembelih hewan kurban hanya Allah muakadkan kepada hambanya yang mampu. Begitupun ibadah haji hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki harta yang cukup, baik harta yang dibawa ke tanah suci maupun harta bagi yang akan ditinggalkan di rumah. Artinya, kedua ibadah tersebut sangat membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Berkurban membutuhkan biaya untuk membeli hewan kurban, dan juga butuh keikhlasan untuk rela berbagi daging kurbannya kepada orang lain yang mungkin saja tidak mampu membeli daging selama hidupnya.
Hikmahnya, dengan berkurban seseorang dapat menjalin kedekatan hati dengan orang lain. Kedekatan hati antara sesama umat Islam sangat diperlukan dalam rangka menegakkan syari’at Allah di bumi-Nya ini. Selain kedekatan Hablumminnanas, orang yang berkurban insya Allah juga meraih kedekatan Hablumminnallah. Sebagaimana pengorbanan nabi Ibrahim yang rela menyembellih putranya demi menjaga kedekatannya dengan Allah Subhanahu Wata’ala. Jika hidup ini telah mampu menempatkan hati begitu dekat antara satu dengan lainnya, dan meraih kedekatan dengan Allah sang pemilik bumi seisinya ini, maka sesungguhnya kesempurnaan hidup telah diraihnya. Insya Allah!!!  By: Zainal Arifin

Baca Selengkapnya ....

Tugas Makalah Pendidikan

Posted by Faiz kenzie Selasa, 25 Juni 2013 0 komentar
Peran Keluarga Dan Masyarakat Dalam Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Meskipun barangkali sebagian diantara kita mengetahui tentang apa itu pendidikan, tetapi ketika pendidikan tersebut diartikan dalam suatu batasan tertentu maka terdapatlah bermacam-macam pengertian yang diberikan.
            Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk  membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.
1.2   Rumusan Masalah
Bagaimana peranan keluarga dalam pendidikan?
Bagaimana peranan masyarakat dalam pendidikan?
Bagaimana hubungan keluarga dan masyarakat dalam pendidikan?
1.3   Tujuan Penulisan
Untuk  mengetahui peranan keluarga dalam pendidikan
Untuk  mengetahui peranan masyarakat dalam pendidikan
Untuk  mengetahui hubungan keluarga dan masyarakat dalam pendi

BAB II
PEMBAHASAN
PERAN KELUARGA DAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN

A.Peran keluarga terhadap pendidikan
Keluarga adalah tempat atau lingkungan yang pertama dan utama bagi individu. Kita sejak lahir hingga saat ini di besarkan di lingkungan keluarga, sebab itu pendidikan pertama dan utama kita peroleh dari lingkungan keluarga itu sendiri, dalam hal ini peran keluarga atau khususnya orang tua sangat besar pengaruhnya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demikian pula halnya dengan sekolah yang merupakan rumah ke dua bagi siswa sedangkan tenaga pendidik adalah orang tua atau keluarga ke dua bagi siswa, begitu pula dengan pemahaman tentang diri anak, guru dapat “memahami” siswanya ke dua setelah keluarga. Guru dapat memahami bagaimana lingkungan sosial, belajar maupun keperibadiannya hanya saja ada perbedaan pola asuh.Dilihat dari segi pendidikan, kelurga  merupakn satu kesatuan hidup (system social), dan kelurga menyediakan situasi belajar .
            Sebagai suatu kesatun hidup bersama (system social),keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak . I kataan kekeluargaan membatu anak dalam mengembangkan sifat persahabatan, cinta kasih, hubungan antara pribadi,kerja sama , disiplin, tingkah laku yang baik,serta pengakuan akan kewibawaan.
            Sementara itu,yang berkenaan dengan kelurga menyediakan situasi belajar, dapat di lihat bahwa bayi dan anak-anak sangat begntung kepada orang tua, baik karena keadaan jasmaniahnya maupun itelektual, sosial, dan moral. Bayi dan anak belajar menerima dan meniru apa yang di ajarkan oleh orang tua.
             Sumbangan kelurga bagi pendidikan anak adalah sebagai berikut:
1.      Cara orang tua melatih anak untuk menguasai cara-cara mengurus diri, seperti cara makan, buang air, berbicara,berjalan,berdoa,sungguh-sungguh membekas dalam diri anak karena berkaitan erat dengan perkembangan dirinya sebagai pribadi.
2.      Sikap orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sikap menerima atau menolak,sikap kasih saying atau acuh tak acuh sikap sabar atau tergesa-gesa,sikap melindungi atau membiarkan secara langsung mempengaruhi reaksi emosianal  anak.
Tanggung jawab pedidikan yang perlu di sadarkan kepada
           
B. Peranan Masyarakat Terhadap Pendidikan
Masyarakat merupakan lembaga pendidikan, dalam konteks penyelenggaraan pendidikan sangat besar peranannya.
Menurut Fuad Ihsan:
“Kemajuan dan keberadaan suatu lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh peran serta masyarakat yang ada” [2]
Tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat, jangan diharapkan pendidikan dapat berkembang dan tumbuh sebagaimana yang diharapkan.
C.  Hubungan Keluarga dan Masyarakat dalam Pendidikan
Antara keluarga dan masyarakat sangat erat kaitannya dalam hal pendidikan, kedua hal tersebut tidak dapat terpisahkan dasar bagi seseorang, dimana apabila pendidikan keluarga berjalan dengan baik dan hasil tersebut didukung pula dengan pendidikan masyarakat yang baik maka seseorang sangat cepat berkembang dan memiliki kepribadian yang baik pula.
Menurut Abu Ahmad:
“Pendidikan nasional dikembangkan secara terpadu dan serasi baik antar berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan, maupun antara sektor pendidikan, maupun antara sektor pendidikan dengan sektor pembangunan lainnya serta antara daerah, keluarga dan masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan seluas-luasnya untuk  berperan serta dalam menyelenggarakan pendidikan nasional”.[3]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Segi pendidikan sangat berpengaruh terhadap keluarga, karena ikatan keluarga membantu anak dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kehidupannya kelak sehingga bila ia telah dewasa mampu berdiri sendiri dan membantu orang lain.
Masyarakat berperan serta dalam mendirikan dan membiayai sekolah dan berperan dalam mengawasi pendidikan.
Di dalam keluarga dan masyarakat sangat erat kaitannya dengan pendidikan. Karena apabila pendidikan keluarga berjalan dengan baik dan didukung dengan pendidikan masyarakat yang baik maka kepribadian seseorang akan baik pula.
Implikasi
Keluarga dan masyarakat sangat berperan dalam hal pendidikan, maka hal itu perlu adanya kesadaran diri sendiri. Keluarga dan masyarakat betapa pentingnya pendidikan.
Dengan adanya pendidikan, seseorang dapat mengetahui dan menguasai dunia, oleh karena itu kita harus tanamkan betapa pentingnya peranan pendidikan dalam keluarga maupun masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Abu. Ilmu pendidikan, semarang: Rineka Cipta 2001
Hasbullah.  Dasar-dasar Pendidikan. Edisi Revisi Jakarta: PT. Grafindo Persada. 1996.

Ihsan, Fuad.  Ilmu Pendidikan Cet. III; Semarang: Rineka Cipta, 2003.

Baca Selengkapnya ....
TEMPLATE CREDIT:
Original Design By: Bamz | Copyright of STKIP HIDAYATULLAH BATAM.

BERITA ISLAM TERDEPAN

DUNIA REPUBLIKA ONLINE

DASAR-DASAR ISLAM

ISLAM LINTAS NEGARA